Sengkarut lahan HGU, DPRD Ketapang gelar rapat

DPRD Ketapang rapat bahas sengkarut lahan HGU perusahaan



Ketapang (ANTARA) – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Ketapang menyelenggarakan rapat membahas sengkarut hak guna usaha (HGU) perusahaan masuk ke pemukiman penduduk dan fasilitas umum seperti sarana pendidikan dan kesehatan di Kecamatan Tumbang Titi wilayah Ketapang Kalimantan Barat.

Rapat yang melibatkan sejumlah pihak terkait tersebut menindaklanjuti permasalahan dua Sertifikat HGU (SHGU) yang disebut peta horizontal dan vertikal. Dua SHGU itu pada PT Inti Sawit Lestari (ISL) di Kecamatan Tumbang Titi, anak perusahaan  Bumitama Gunajaya Agro (BGA) group.

“Dalam rapat ini kita ambil kesimpulan bahwa permasalahan antara masyarakat 12 desa dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) terkait dugaan lahan di 12 desa tersebut masuk dalam peta 1991, yang otomatis masuk dalam HGU,” kata Ketua Komisi II DPRD Ketapang Uti Royden Top, saat memimpin rapat pembahasan sengketa lahan HGU, di DPRD Ketapang, Selasa.

Otop menjelaskan dalam rapat, keputusan BPN bahwa yang dilelang dari BIG menjadi BGA Group di dalamnya ada 12 desa. Tapi BGA tidak mengakui peta 1991 karena hasil lelang mereka mendapatkan peta situasi 1997.

“Artinya di sini ada dua versi yakni peta 1991 dan 1997. Kemudian BPN mengatakan yang sah adalah peta 1991, terhadap peta 1997 di luar sepengetahuan BPN. Jadi kalau apa yang dikatakan BPN benar maka BGA Group menanam di luar HGU mereka,” ujarnya.

Otop menambahkan terhadap BGA menurut masyarakat selama ini memang bagus. Lantaran sangat membantu dari keterpurukan saat PT BIG tidak beroperasi. “Tapi dalam hal ini bukan soal membantu masyarakat tapi legalitas HGU perusahaan itu,” tegasnya.

Ia mengatakan agar permasalahan tersebut tidak berlarut pihaknya akan mendorong Pemerintah daerah juga kepada perusahaan untuk mencari solusi.

“Sampai kapan pun kalau ini tak ada solusi maka tetap akan bermasalah. Karena tetap ada dua versi peta tersebut,” kata Otop.

Otop melanjutkan, kemudian walau pihaknya tidak turun ke lapangan. Tapi jika melihat dari peta yang disampaikan BPN ketika rapat. Ia melihat bahwa benar 12 desa itu masuk dalam HGU berdasarkan peta 1991.

“Jalan ke luar tentu bagi yang merasa dirugikan silakan menempuh jalur hukum. Jadi kami tidak bisa mengatakan siapa benar atau salah terkait peta 1991 dan 1997. Silakan saja menempuh jalur hukum saja,” sarannya.

Sementara itu, Kepala Perwakilan BGA Group Riduan menegaskan pihaknya tetap beranggapan peta 1997 benar berdasarkan hasil lelang PT BIG.

Ia beralasan sebelum pembayaran lelang dilakukan BGA Group, pihaknya sudah mengikuti semua proses lelang secara benar.

“Beberapa fakta yang membenarkan ketika proses lelang kami ikuti. Termasuk melibatkan BPN pada beberapa prosesnya hingga balik dari sertifikat tersebut. Kalau ada permasalahan begini kenapa selama proses lelang tidak disampaikan kepada kami,” cetus Riduan.

Kepala Kantor Pertanahan Ketapang Banu Subekti menjelaskan BPN itu dari Kementerian, Kanwil baru Kantor Pertanahan Ketapang.

“Jadi kami hanya menyampaikan dan ini bukan dari BPN Ketapang bahwa yang diakui adalah peta situasi 1991,” jelas Banu.

Dia menilai sebab itu persoalan ini karena ada mis dan nanti penyelesaiannya bagaimana ditunggu saja. Terlebih menurutnya, terkait yang diakui peta 1991 sebenarnya sudah disampaikan pada tahun 2016 kepada pihak terkait.

“Kalau kita hanya memfasilitasi bukan pemutus. Kalau memang mau menggunakan jalur hukum silakan, mau musyawarah, Alhamdulillah,” ujarnya.

Terkait pernyataan perwakilan BGA Group bahwa BPN terlibat langsung dalam beberapa proses saat lelang PT BIG yang diikuti BGA Group hingga balik nama SHGU. Banu menegaskan semua risalah lelang menyebutkan peta situasi 1991 dan tidak ada peta 1997.

Terkait dalam peta situasi 1991 ada masuk di pemukiman warga yang tanahnya ada sertifikat. Serta ada fasilitas umum seperti sekolah, rumah ibadah dan lainnya. Menurutnya hal itu memang sesuai haknya PIR trans.

“Jadi HGU itu harus dikurangi sesuai sertifikat yang diterbitkan melalui PIR Trans. Jadi tidak bisa dikatakan tumbang tindih, karena SK (surat keputusan) pada waktu menerbitkan HGU lama untuk PT BIG itu ada kewajiban untuk para transmigran Pir Trans. Sehingga sertifikat masyarakat tetap sah meski dalam HGU perusahaan itu,” tegasnya.

Banu menambahkan terhadap sertifikat warga yang mengaku tidak bisa dijaminkan atau diagunkan ke bank. Banu menyarankan untuk tanya ke bank terkait, kenapa tidak bisa.

“Sertifikat tidak bisa diagunkan bukan berarti sertifikat itu tidak sah. Lantaran sertifikat tidak ada persoalan masuk atau tidak dalam HGU perusahaan. Soal sertifikat bisa diagunkan atau tidak itu adalah persoalan antara yang memberi kredit dan diberi kredit atau pinjaman,” jelasnya.

Jika diminta pengesahan BPN pasti ditandatangani bahwa sertifikat itu sah. Hanya saja ketika bank tidak menerima sertifikat warga sebagai agunan itu kewenangannya,” tutup Banu.